Sabtu, 10 Januari 2009

Pengalaman Penerapan ERP Sistem di Nestle Indonesia

Gambaran Umum
Nestle adalah perusahaan makanan terbesar diseluruh dunia dengan ribuan macam produk dan unit bisnis di lebih dari 84 negara. Nestle menerapkan strategi manajemen kontrol sistem yang terdesentralisasi, denagn mendelegasikan otoritas pengambilan keputusan di masing-masing unit bisnis sehingga keputusan-keputusan yang diambil sesuai dengan kondisi di masing-masing negara. Untuk mengkoordinasikan seluruh unit bisnisnya di seluruh dunia maka dibutuhkan peranan sistem teknologi informasi yang bisa mengkoordinasikan seluruh aktivitas bisnis agar diperoleh competitive advantage.
Sebelumnya Nestle telah menerapkan corporate intranet pada tahun 1997, yang bertujuan mendukung lima kegiatan bisnisnya yaitu purchasing, marketing, business intelligence, teknologi, dan manajemen sumberdaya manusia. Corporate intranet ini dikenal dengan Nestle Intranet Kit Assistant (NIKITA).NIKITA ini merupakan software yang dikembangkan oleh Nestle sendiri dan menjadi blueprint bagi pengembangan proyek intranet selanjutnya. Sistem ini digunakan lebih dari 80.000 karyawan Nestle di seluruh dunia.
Email merupakan sarana interaksi yang fundamental di Nestle dan sudah menjadi budaya kerja di Nestle untuk berinteraksi antar departemen dengan hanya menggunakan email. Pemberitahuan, berita-berita penting, instruksi, dan komunikasi bisnis biasa menggunakan media email. Oleh karena itu intranet dan email merupakan kebutuhan pokok Nestle dan membuat komunikasi menjadi lebih cepat dan efisien.
Dengan makin ketatnya persaingan di industri bisnis makanan, maka Nestle membutuhkan dukungan teknologi informasi yang bisa menyatukan semua bisnis unit Nestle di seluruh dunia dan mengaplikasikan proses bisnis yang efisien dan efektif. Oleh karena itu pada tahun 2000, Nestle meluncurkan proyek GLOBE (Global Business Excellence)yang merupakan proyek terbesar Nestle selama 135 tahun berdirinya perusahaan ini. Tujuan dari proyek GLOBE adalah meningkatkan kinerja dan efisiensi bisnis Nestle di seluruh dunia. Proyek GLOBE ini merupakan sistem ERP (enterprise resource planning) yang menggunakan software SAP. Implementasi mySAP.com termasuk Workplace, SAP R/3, BW, APO, CRM, EBP dan Knowledge Warehouse. Proyek ini terbagi menjadi empat kegiatan pokok, yaitu Business Excellence, Data Standard&Data Management, Information Technology dan Global Template. Proyek ini menggunakan konsultan dari PwC.
Proyek GLOBE di Nestle Indonesia
Proyek penerapan proyek GLOBE di Nestle Indonesia dimulai pada tahun 2003. Strategi penerapan yang dipakai adalah Phasing Strategi, yaitu penerapan secara bertahap sampai tahun 2006. Proyek ini pertama kali diterapkan di Head Office Jakarta dan Kejayan Factory, Pasuruan, Jawa Timur, yang merupakan pabrik pengolahan susu sapi terbesar di Indonesia. Pada tahun 2005, proyek GLOBE mulai diaplikasikan di Panjang Factory, Lampung dan Cikupa Factory, Tangerang, Jawa Barat. Secara pertahap proyek GLOBE ini diaplikasikan di masing-masing departemen.
Kritik Proyek GLOBE
Proyek GLOBE memang sudah tepat dicanangkan Nestle karena ERP sistem sekarang sudah menjadi kebutuhan perusahaan-perusahaan global yang ingin tetap kompetitif di persaingan bisnis global. Dengan ERP sistem ini maka perusahaan bisa mensinergikan keseluruhan proses bisnis yang ada di perusahaan tersebut sehingga dicapai proses bisnis yang efisien dan efektif, serta memberikan kemudahan terjadinya “sharing knowledge” antar masing-masing bagian.
Terkait dengan penerapan sistem ini di Nestle Indonesia, penulis melihat adanya kebingungan yang amat sangat dari karyawan operasional di level supervisor ke bawah. Mereka yang harus dibiasakan untuk input data terkadang merasa cangggung dengan tampilan sistem baru. Dari pengalaman penulis menjadi supervisor di RSCM Departemen di Kejayan Factory, terlihat adanya “culture shock” yang dialami operator karena harus input data ke komputer padahal mereka terbiasa menggunakan kertas. Terdapat berbagai kesulitan yang mereka hadapi mulai dengan ketidak-familier-an mereka menggunakan komputer. Dari sini saja sudah timbul masalah karena dalam ERP sistem jika satu bagian tidak menginput data maka akan membuat bagian yang lain terhenti. Dengan beban input data ini sempat mengganggu proses kegiatan produksi yang sedang berjalan, karena mereka harus berbagi konsentrasi antara input data dan pekerjaan operasional. Kesulitan lainnya adalah adanya perbedaan tampilan di software baru ini dibandingkan dengan software lama. Terkesan bahwa aplikasi SAP yang diterapkan secara “vanilla” (istilah penerapan SAP di NIBCO yang secara apa adanya tanpa customization). Berbagai kesalahan input sering dilakukan dan sering sekali hal tersebut menimbulkan masalah dan butuh dikonsultasikan dengan tim IT. Bahkan beberapa teman sejawat selevel supervisor yang sampai stress karena bingung mengoperasikan sistem baru yang tampilannya sangat berbeda dengan sistem lama.
Tidak ditemukan seorang “project champion” yang di taruh di masing-masing shift kerja yang bisa membantu pengoperasian SAP ini. “ project champion” ini hanya ada satu untuk satu departemen sehingga kerjanya tidak optimal. Oleh karena itu proses pembelajaran semua karyawan menjadi sangat lamban. Seharusnya terdapat sebuah “champion team” di tingkat departemen dan 1 orang project champion di masing-masing tim. Dengan begitu proses pembelajaran ke sistem baru akan efektif dan cepat.
Pada awal penerapan sistem baru,terdapat banyak sekali kesalahan input data sehingga sempat membuat proses record file terganggu. Waktu itu untuk menyelesaikan problem ini, ditunjuklah 1 orang karyawan yang khusus input data di masing-masing tim. Seharusnya hal tersebut tidak dilakukan, karena salah satu prinsip dalam proses pembelajaran adalah “show the brutal facts” (Jim Collins, dalam bukunya Good to Great). Dengan prinsip “show the brutal facts” maka kesalahan yang ada diangkat dan ditunjukkan untuk dilakukan langkah-langkah koreksi. Dengan menaruh orang yang khusus input data di masing-masing tim dan membiarkan anggota tim lain tidak melakukan input data maka tidak ada pembelajaran yang benar dari hakekat penerapan sistem baru tersebut. Terlebih hal ini juga menambah biaya produksi karena menambah 1 karyawan yang berfungsi untuk input data.
Denagn proses transformasi step by step terlihat bahwa proses peralihan ke sistem baru berjalan lambat dan tingkat kesuksesannya tidak maksimal. Lain halnya jika dicoba di satu factory atau satu unit bisnis, diterapkan pendekatan “big bang”, mungkin hasilnya akan lebih baik dan lebih efisien.
Daftar Pustaka
Collins, Jim, 2001. Good To Great,1st edition, Harper Business New York.
Martin, E. Wainright. et al, 1999, Managing Information Technology: What Managers Need to Know, 5th edition, New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs.

Kamis, 08 Januari 2009

Cara Modern Me"manage" Gerai Handphone

CARA MODERN ME”MANAGE” GERAI HANDPHONE
Background

Dalam lima tahun terakhir ini diberbagai pelosok kota dan pedesaan banyak bermunculan gerai handphone yang di Indonesia terkenal dengan istilah “konter HP”. Hal ini merupakan indikasi positif bagi perekonomian secara umum karena secara langsung konter-konter ini akan menyerap tenaga kerja dan memberi penghidupan bagi banyak orang. Sebutan “konter HP” ini sebenarnya bisa di bagi kedalam tiga kelompok kategori bisnis, yaitu bisnis perdagangan handphone, bisnis perdagangan pulsa, bisnis accessories handphone. Biasanya konter-konter pada umumnya menjalankan gabungan kelompok bisnis ini secara simultan. Contohnya ada konter yang menjual handphone sekaligus menjual accessories handphone dan pulsa. Tetapi ada juga konter yang fokus pada kategori bisnis tertentu saja, misalnya bisnis handphone saja. Biasanya konter yang fokus pada salah satu kategori bisnis ini merupakan pemain besar yang memusatkan capability dan resource yang dimiliki untuk fokus di satu bidang bisnis saja.
Terlihat fenomena bahwa banyak sekali “turnover” di bisnis ini. Banyak sekali kita lihat konter yang baru buka tetapi kemudian beberapa bulan atau tahun kemudian tutup atau gulung tikar. Dari pengalaman saya membesarkan Papyrus Mobilephone Group selama lima tahun, terdapat beberapa penyebab kegagalan tersebut, diantaranya adalah:
1. Kesalahan manajemen
2. Keterbatasan modal
3. Komitmen jangka pendek
Kesalahan manajemen merupakan penyebab kegagalan yang paling sering ditemui. Maksud dari kegagalan manajemen adalah sebuah kesalahan dalam mengelola usaha, yang dalam hal ini adalah konter. Contohnya, banyak sekali ditemui konter yang tutup karena pengelolaan keuangannya yang tidak baik. Yang sering terjadi adalah tidak dilakukannya pemisahaan antara modal kerja dan uang untuk kebutuhan konsumsi. Sehingga lama-lama modal kerjanya ikut terpakai dan habis untuk belanja konsumsi. Sedangkan keterbatasan modal menjadi penyebab kegagalan nomor dua, karena kebanyakan konter adalah usaha perseorangan sehingga akses modalnya dari pihak ketiga sangat kurang. Penyebab yang ketiga yaitu komitmen jangka pendek, maksudnya adalah konter hanya dijadikan pengisi waktu menganggur saja, dan tidak mempunyai bayangan dan impian kedepan mau kemana konter ini.
Manajemen Konter yang Baik
Sebenarnya tidak susah mengambil beberapa ilmu manajemen untuk di aplikasikan di bisnis ini. Untuk pemula, mulailah secara terencana menerapkan pembukuan yang baik dan tertiblah dalam menggunakan uang modal. Mulailah dengan mencatat berapa modal keseluruhan yang digunakan, catat semua transaksi harian, analisa transaksi harian ini sehingga terhitung berapa profit yang didapatkan dalam 1 hari penjualan. Jika perlu berikan tugas ini kepada karyawan supaya tiap hari semua transaksi barang keluar-masuk bisa tercatat dengan baik. Disini hal yang pokok adalah kita harus tahu berapa modal yang digunakan. Yang kedua adalah berapa profit per bulan yang dihasilkan dari bisnis ini. Jika kita sudah mengetahuinya, mulailah menghitung berapa kebutuhan kita dalam satu bulan. Berapa gaji karyawan, biaya operasional konter, dan biaya sewa (jika menyewa tempat konter). Dari sini kita akan tahu berapa net profit yang kita dapatkan dalam 1 bulan. Jika net profit ini lebih besar dari kebutuhan pribadi kita maka kemungkinan besar keuangan konter akan aman, tetapi jika defisit? Maka bersiaplah untuk menghadapi penyusutan modal kerja. Perlu diperhatikan juga bahwa bisnis ini juga ada fluktuasinya, jadi jangan pernah hanya melihat laporan keuangan dalam 1 bulan saja, jika perlu analisa dalam 1 tahun.
Jika konter sudah besar dan berkembang menjadi 2-3 cabang, biasanya masalah yang dihadapi adalah kontrol manajemen tiap-tiap konter. Untuk kasus ini kita bisa mengadopsi ilmu manajemen modern, seperti yang ada di bukunya V. Govindrajan dan R.N. Anthony yang berjudul “Management Control System”. Disini dijelaskan terdapat beberapa strategi penerapan struktur organisasi, diantaranya adalah “unit bisnis organization”. Dengan penerapan unit bisnis organization maka kita akan menerapkan tiap-tiap cabang tersebut sebagai sebuah responsibility center yang memiliki independensi dan target penjualan tertentu. Biasanya responsibility center tersebut bertipe profit center atau investment center, dimana tiap-tiap unit bisnis dipimpin oleh seorang manajer yang diberi tanggungjawab penuh untuk mengelola. Dengan struktur organisasi ini maka kita akan memberikan empowerment lebih kepada karyawan untuk memaksimalkan potensi yang dipunyai.
Contoh nyata adalah struktur organisasi unit bisnis yang diterapkan Papyrus Mobilephone Group. Mereka mempunyai kantor pusat yang isinya hanya 4 orang karyawan admin dan finance dan 1 orang analis bisnis. Masing-masing cabang merupakan satu unit bisnis yang independen (profit center), yang dipimpin oleh seorang manajer. Manajer bertanggungjawab penuh terhadap pengelolaan konter mulai dari SDM, administrasi keuangan, dan aset konter. Sebagai penyeimbang, maka masing-masing konter juga terdapat 1 orang staf admin yang ditempatkan di masing-masing unit bisnis dan berkoordinasi langsung dengan staf admin di kantor pusat. Tiap-tiap konter akan dievaluasi kinerjanya dari 3 aspek yaitu net income, customer komplain indeks, dan turnover karyawan. Khusus untuk net income, masing-masing konter mempunyai target net income minimal per bulan, jika mereka menghasilkan net income yang melebihi target maka sisanya dibagi 50%-50%, yaitu untuk manajemen pusat dan untuk bonus pejualan bagi tim di unit bisnis. Strategi ini cukup berhasil mengangkat kinerja karyawan tanpa harus dikontrol ketat, karena secara tidak langsung mereka juga merasa “memiliki” bisnis tersebut.

Selasa, 16 Desember 2008

Strategi Retailer Handphone di Yogyakarta

Pada awal tahun 2000, di Yogyakarta banyak bermunculan retailer-retailer handphone yang lebih terkenal dengan sebutan “konter”. Diawali dari perdagangan handphone bekas di Pasar Klithikan di sepanjang trotoar jalan Mangkubumi. Kemudian berkembang dengan pembukaan phone market di Ramai Mall Malioboro, Jogja Phone Market di gedung ex BDNI dan sepanjang jalan Gejayan Yogyakarta. Sampai saat ini terdapat banyak sentra perdagangan handphone baru maupun bekas di Yogyakarta, antara lain, Jogjatronik Phone Market, Gelael Phone Market, dan Ambarukmo Phone Market, Beringharjo Phone Market, Saphir Square Phone Market, serta beberapa cluster retailer handphone di sepanjang jalan Gejayan dan Glagahsari Yogyakarta.
Dalam bisnis handphone biasanya terkait dengan bisnis isi ulang pulsa, kartu perdana dan assesoris handphone. Masing-masing merupakan entitas bisnis tersendiri tetapi untuk retailer yang masih baru atau dengan modal kecil, biasanya menggabungkan keempat bisnis tersebut.
Dalam bisnis handphone sendiri masih bisa dibagi menjadi 3 kategori bisnis, yaitu:
1. Bisnis handphone bekas
2. Bisnis handphone baru
3. Bisnis gadai handphone
Di Yogyakarta, ada beberapa retailer handphone yang fokus pada satu kategori bisnis diatas, maupun menggabungkan 2 sampai 3 kategori sekaligus.
Sedangkan dalam bisnis isi ulang pulsa, biasanya berbarengan dengan bisnis penjualan kartu perdana karena peraturan dari operator selular memang menjual paket isi ulang pulsa dan kartu perdana. Bisnis ini memiliki prospek yang cerah karena kebutuhan isi ulang ulang pulsa sudah seperti kebutuhan pokok buat sebagian masyarakat tetapi tingkat persaingannya sangat ketat, bahkan bisa dikatakan sudah masuk kategori pasar persaingan sempurna (perfect competition market). Beberapa contoh wholesaler bisnis ini di Yogyakarta adalah Masterlink, Komunika, dan 3C-Tronik, sedangkan retailernya meliputi seluruh jaringan gerai isi ulang pulsa mulai dari yang ada di supermarket sampai di pinggir jalan.
Yang terakhir adalah bisnis assesoris. Bisnis ini menjual perlengkapan dan assesoris handphone termasuk spare partnya. Beberapa retailer assesoris yang terkenal di Yogyakarta adalah S-Cell, Novo Cell dan Dazzel.
A. Prospek Bisnis Handphone di Yogyakarta
Bisnis handphone pada awal tahun 2000 sangat menguntungkan karena pada saat itu belum ada kompetisi yang ketat dalam berjualan handphone. Sebagai contoh salah satu retailer yang sudah mulai terjun di retailer handphone adalah MaCell, pada awal tahun 2001 Macell bisa menjual handphone baru rata-rata per hari 75-125 buah, dengan marjin keuntungan rata-rata 50-100 ribu. Jadi dalam sehari keuntungan satu konter Macell sebesar 3,75 juta – 12,5 juta per hari. Marjin keuntungan yang besar ini menyebabkan banyaknya pedagang baru yang masuk ke bisnis ini, seperti OGOT Cell, Visitel,Jaya Phone, Mackindo, dll.
Dengan dibukanya cluster perdagangan handphone seperti Jogja Phone Market di gedung ex BDNI, Ramai Mall Phone Market di Malioboro, dan cluster retailer handphone di sepanjang jalan Gejayan, maka makin banyak “follower” yang ikut terjun di bisnis ini. Pada akhir tahun 2003 saja sudah tercatat 73 angggota Asosiasi Perdagang Handphone Gejayan. Dengan makin banyaknya pemain baru yang masuk, maka terjadi pergeseran kompetisi pasar kearah pasar “monopolistic competition” dimana tiap-tiap retailer bisa menjual produk yang sama tetapi masih bisa membedakan (differentiate) dari yang lainnya, baik itu dari aspek layanan, harga, maupun kelengkapan variasi barang yang dijual (Marketing Management, P.Kotler,12th ed.)
Meskipun kompetisi sudah semakin ketat, masih terdapat celah keuntungan dalam bisnis ini jika retailer bisa menangkap celah peluang yang ada. Sebagai salah satu contohnya, Jaya Phone yang kantornya ada di daerah Gedongkuning Yogyakarta. Saat ini dia fokus menjadi wholesaler, dimana Jaya Phone membeli dalam partai besar berbagai macam tipe handphone baru yang laku di pasaran dan menjual kembali ke retailer-retailer. Anehnya harga penjualan Jaya Phone ke retailer pasti lebih rendah daripada harga dari distributor resmi ke retailer. Jaya Phone sekarang sudah berkembang pesat dengan menguasai pasar di Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah. Di Jawa Tengah dia mempunyai jaringan sampai daerah Banyumas di sebelah barat dan daerah Rembang di sebelah timur Jawa Tengah. Jaya Phone berhasil menerapkan strategi low price, pemberian cash tempo (kredit lunak) kepada retailer, dan sistem jaringan distribusi yang kuat.
Contoh retailer handphone lainnya yang sukses adalah Brother Group, jaringan retailer handphone bekas terbesar di Yogyakarta. Retailer ini telah mempunyai puluhan cabang dan beberapa franchise gerai di Yogyakarta. Strategi yang diterapkan adalah low price dan iklan yang gencar di Koran lokal Kedaulatan Rakyat. Hampir tiap hari mereka memasang iklan kolom di Koran dengan penawaran harga yang miring (low cost strategy). Meskipun dari aspek pelayanan relatif kurang bagus dan terkesan apa adanya, tetapi masyarakat Yogyakarta cukup antusias untuk mendapatkan handphone bekas dengan harga murah. Sampai saat ini strategi ini cukup sukses diterapkan, hal ini ditandai dengan makin banyaknya jaringan retailer Brother Group dan sudah merambah daerah Klaten.
Contoh satu lagi adalah retailer Papyrus Mobile Phone Group. Mulai berdiri pada tahun 2004, saat ini sudah berkembang menjadi 7 cabang baru, masing-masing 3 gerai untuk segmen pasar high-end, 1 gerai untuk segmen pasar middle dan 3 gerai untuk segmen pasar low-end. Dengan strategi fleksibilas dan sistem pelayanan yang terstandarisasi, jaringan retailer ini mampu menghadirkan layanan penjualan handphone baru dan bekas kualitas bagus yang disesuaikan dengan segmen pasar yang dijadikan sasaran. Sebagai contoh untuk salah satu gerai Papyrus Mobile Phone yang ada di Gelael Phone Market, karena target marketnya adalah masyarakat kelas menengah keatas, maka counter ini menerapkan 2P yang berbeda dalam marketing konsep. Untuk “price” ditetapkan strategi harga yang standar, yaitu marjin 3-10% per item barang. “Place” juga disesuaikan dengan desain counter yang nyaman, pelayanan yang ramah, dimana pembeli akan diberikan pilihan berbagai alternatif pilihan barang, sistem garansi produk yang terstandarisasi dan akses yang mudah yaitu terletak di ex gedung Gelael di jalan Adi Sucipto Yogyakarta. Lain halnya dengan gerai Papyrus yang target pasarnya masyarakat dengan penghasilan menengah ke bawah, seperti gerai Papyrus yang ada di jalan Wates km 3, Bayeman Yogyakarta dan yang ada di Kotagede Yogyakarta. Gerai ini menerapkan strategi low price dan menyediakan layanan kredit dan gadai handphone, dan desain konter yang terbuka, seperti penjual kelontongan di pinggir jalan. Masyarakat di daerah pinggiran dengan penghasilan menengah ke bawah lebih suka memasuki gerai yang desainnya tidak tertutup, yang menandakan gerai tersebut tidak eksklusif, sehingga mereka lebih familier dan tidak ragu ketika datang ke gerai. Behavoiur masyarakatnya juga suka membeli barang dengan cara kredit, dan ketika mereka membutuhkan uang, mereka menggadaikan handphonenya untuk 1 minggu sampai 1 bulan. Dengan strategi yang bisa “identifying customer needs” dan menerapkannya, 1 gerai rata-rata bisa menghasilkan keuntungan 100 – 130 ribu sehari. Berikut ini disajikan data Balance Sheet dan Income Statement gerai Papyrus di Jalan Wates km.3, Bayeman, Yogyakarta, untuk periode bulan Juli 2008:
Balance Sheet
Aset Liabities and Equity
Handphone 10.000.000 Modal 25000000
Pulsa dan accessories 2.000.000
Sewa Tempat, 2 tahun 8.000.000
Etalase,kursi, dll 5.000.000
Total 25.000.000 Total 25000000

Income Statemen
Periode 1 Juli - 31 Juli 2008
Penjualan 87.655.400
Cost of Good Sold 81.230.600
Expenses 2.500.000
EBIT 3.924.800
Interest 0
Tax 0
Earning After Tax 3.924.800

Dari data diatas terlihat bahwa ROE (Return of Equity) untuk satu counter handphone bekas Papyrus sebesar 15,6% per bulan atau 188,4% per tahun.
Meskipun terdapat fluktuasi penjualan terutama tiap bulannya tetapi rata-rata ROE satu gerai handphone yang dikelola dengan strategi yang tepat berkisar antara 10 – 15% per bulan. Sebuah angka yang cukup besar dan masih menjadikan alasan banyak pemain baru masuk dalam bisnis ini. Di Yogyakarta, perkembangan bisnis ini terus berlangsung, dan sentra-sentra perdagangan handphone terus bermunculan seiiring dengan pembukaan beberapa mall baru. Di berbagai pelosok daerah Yogyakarta juga bermunculan pedagang-pedagang kecil yang menjual handphone sambil berjualan barang komplementernya yaitu kartu perdana, pulsa isi ulang dan assesoris handphone. Seperti yang terlihat di sepanjang jalan Imogiri, terdapat puluhan gerai handphone kecil yang berjualan pulsa isi ulang dan handphone bekas. Meskipun terlihat tidak ada strategi pemasaran yang diterapkan tetapi mereka melihat masih ada kue yang tersisa yang bisa dijadikan ladang bisnis dalam bisnis handphone ini.
B. Segmentasi Pasar
Ada dua pendekatan dalam segmentasi konsumen handphone di Yogyakarta, yaitu berdasarkan geographic segmentation dan demographic segmentation.
1. Geographic Segmentation
Dalam geographic segmentation, ada perbedaan karakteristik masyarakat yang berdomisili di pusat kota (Kodya Yogyakarta) dan daerah pinggiran kota (seperti Sleman, Bantul dan Kulonprogo). Berdasarkan pengalaman, untuk masyarakat Kodya Yogyakarta dan Sleman bagian utara, mereka cenderung familier untuk membeli handphone di sentra penjualan handphone seperti di mall dan sepanjang jalan Gejayan. Rata-rata masyarakat di daerah ini tidak segan untuk memasuki counter yang memiliki desain eksklusif,berpendingin ruangan dan tertutup kaca. Sedangkan untuk masyarakat Bantul dan Sleman bagian utara, mereka cenderung ragu-ragu untuk memasuki counter yang memiliki desain eksklusif, berpendingin ruangan dan tertutup kaca. Papyrus Mobile Phone Group pernah mencoba membuka cabang di daerah Kotagede dengan desain gerai eksklusif dan tertutup kaca serta dilengkapi dengan pendingin ruangan, dengan komposisi barang handphone baru 30% dan handphone bekas 70%, tetapi dalam 6 bulan pertama penjualannya tidak memuaskan. Akhirnya dicoba untuk mengubah dengan desain gerai terbuka, tanpa pendingin ruangan, dengan komposisi barang yang sama. Dalam 2 bulan setelah perubahan desain, angka penjualan meningkat 45-60%. Nah dari pengalaman inilah yang akhirnya memberikan pelajaran bahwa masyarakat pinggiran kota cenderung lebih suka gerai handphone dengan suasana tidak eksklusif sehingga mereka tidak segan untuk masuk kedalam gerai handphone.
2. Demographic Segmentation
Dalam demographic segmentation, yang terutama terlihat adalah dalam segi income (pendapatan masyarakat). Biasanya income segmentation dibagi dalam 2 kategori yaitu:
a. Pendapatan menengah keatas
b. Pendapatan menengah kebawah
Masing-masing kategori ini memiliki behavior yang berbeda-beda. Jika salah satu segmen pasar ini ingin dijadikan target market, maka harus dipersiapkan tipe jenis produk yang sesuai, komposisinya, desain gerai, standar layanan, fitur layanan, dan sebagainya. Sebagai contoh Visitel, yang ada di jalan Gejayan Yogyakarta, mereka memiliki target market masyarakat dengan pendapatan menengah keatas, jadi mereka menciptakan gerai dengan desain eksklusif, komposisi produk dengan tipe middle dan high end, standar layanan tertentu dan menyediakan layanan pembayaran dengan credit card. Meskipun harganya relatif mahal, tetapi konsumen mempunyai “value” yang lebih ketika membeli handphone disini.
C. Strategi Persaingan Retailer Handphone
Dalam menghadapi persaingan perdagangan handphone yang makin ketat, masing-masing pelaku bisnis berusaha mempertahankan market share mereka dengan menerapkan bebagai strategi marketing, diantaranya adalah:
1. Pricing strategy
2. Location and design Strategy
3. Product Composition Strategy
4. Promotion Strategy
Masing-masing pelaku bisnis secara sadar maupun tanpa disadari menerapkan salah satu maupun gabungan dari strategi pemasaran diatas. Berikut ini akan dibahas aplikasi dari masing-masing strategi marketing ini dalam bisnis handphone.
1. Pricing strategy
Dalam pricing strategy ini ada beberapa pelaku bisnis yang menerapkan low price strategy, seperti yang diterapkan oleh Brother Group. Mereka mengambil margin keuntungan yang kecil tetapi dengan kualitas garansi barang terbatas, dan biasanya mereka menggaransi barang yang dijual hanya selama 1 hari. Bandingkan dengan counter lain yang bisa menggaransi sampai 3 bulan untuk handphone yang sudah tidak mempunyai garansi langsung dari vendornya, atau masa garansi vendornya sudah habis. Dengan menerapkan low price strategy ini, Brother Group berhasil menjaring konsumen yang membutuhkan handphone bekas dengan harga miring meskipun kelengkapan dan garansinya terbatas. Sampai saat ini seperti yang terlihat di salah satu gerai Brother Group di selatan IAIN, cukup banyak menarik minat konsumen untuk membeli. Salah satu kelemahan strategi yang diterapkan oleh Brother group adalah:
a. Kekecewaan konsumen setelah membeli handphone dan ternyata tidak sesuai ekspektasi dan ada masalah dengan produk yang dibeli, sehingga konsumen tidak percaya lagi untuk membeli di gerai-gerai Brother Group.
b. Keseimbangan system demand and supply
Untuk handphone bekas, cukup sulit untuk menjaga agar stok barang selalu tersedia. Jadi resiko stockout akan selalu ada karena tidak mudah menyediakan tipe handphone tertentu selalu ada. Berbeda untuk handphone baru, berapapun kuantitas barang yang dibutuhkan akan selalu ada barangnya.
2. Location and Design Strategy
Location and design strategy disesuaikan dengan target market yang akan dituju oleh pelaku bisnis. Jika target marketnya adalah kelas menengah keatas, maka pelaku bisnis cenderung mencari lokasi di Phone Market, seperti Ambarukmo dan Ramai Mall Phone Market, atau di sepanjang jalan Gejayan dengan desain gerai yang eksklusif. Begitupula untuk pelaku bisnis yang memilih target market menengah ke bawah, maka pelaku bisnis bisa mencari lokasi di sepanjang jalan Glagahsari, maupun di pinggir jalan yang frekuensi keramaian lalu lintasnya tinggi seperti di sepanjang jalan Kusumanegara dan Gedongkuning ataupun di sepanjang jalan Imogiri. Biasanya, pelaku bisnis handphone selalu mempertimbangkan faktor lokasi ini, karena memang berpengaruh besar terhadap penjualan. Sebagai contoh Best Cellular yang terletak di jalan Kusumanegara, meskipun desain gerainya biasa-biasa saja tetapi lokasinya sangat strategis, dipinggir jalan yang dilalui lalu-lintas yang padat, serta didukung pula oleh tempat parkir yang nyaman sehingga membuat gerainya ramai dikunjungi pembeli sampai sekarang. Contoh lainnya adalah Depok Sport Phone Market, yang terletak di selatan STIE YKPN di daerah Depok. Mulai didirikan pada awal 2007, phone market ini hanya bertahan selama 6 bulan karena sepinya pembeli yang datang. Faktor utama kegagalannya adalah lokasi yang kurang tepat untuk didirikan sebuah phone market.
3. Product Composition Strategy
Komposisi produk disesuaikan dengan target pasarnya dan disesuaikan dengan kemampuan modal finansialnya. Sebagai contohnya adalah gerai Raflesia Mobile Phone yang terletak di Gelael Phone Market, dengan target pasar masyarakat kelas menengah keatas, dibutuhkan modal 100 juta untuk penyediaan inventori handphonenya. Dan inipun hanya tipe-tipe tertentu yang laku di pasaran saja yang tersedia. Ada juga yang product komposisi produknya fokus pada handphone PDA, seperti yang dilakukan gerai Gadget Store di Ambarukmo Phone Market. Mereka hanya menyediakan handphone PDA yang sebenarnya di Yogyakarta merupakan “niche market” dan masih jarang yang menggarap market ini dengan serius. Satu contoh lagi adalah gerai Golden Cellular yang terletak di jalan Urip Sumoharjo, mereka hanya fokus di handphone CDMA terutama buatan China dan Korea. Ada beberapa segmen masyarakat di Yogyakarta yang antusias untuk memakai produk-produk buatan China dan Korea, meskipun tidak mempunyai garansi resmi di Indonesia, tetapi konsumen mendapatkan fitur yang lebih banyak dalam sebuah handphone dibandingkan dengan handphone CDMA yang bergaransi resmi. Sebagai contoh produk Cross CG36 buatan China yang dijual 1,5 juta, tipe ini sudah menyediakan fitur double simcard GSM-CDMA on, MP4, MMC 1 Giga, dan TV Tuner. Bandingkan dengan produk keluaran Samsung SGH W579 yang di bandrol dengan harga 2,6 juta. Meskipun garansinya terbatas hanya garansi toko dan tidak ada cadangan spare part, tetapi sebagian masyarakat masih antusias untuk membeli handphone-handphone keluaran China ini karena memang harganya murah.
4. Promotion Strategy
Ada berbagai channel atau saluran dalam kegiatan promosi ini. Didalam buku Marketing Management 12th ed.,P. Kotler, disebutkan bahwa saluran promosi ini meliputi advertising, sales promotion, events,public relation,personal selling dan direct marketing. Saluran yang sering digunakan oleh pelaku bisnis handphone adalah advertising melalui Koran lokal dan personal selling.
Advertising melalui koran lokal biasanya berbentuk iklan kolom yang mencantumkan tipe handphone dan harganya. Disini biasanya terjadi perang harga, masing-masing counter ingin menunjukkan bahwa harga mereka yang paling murah meskipun terkadang harga yang dicantumkan tersebut menipu konsumen. Biasanya yang melakukan promosi melalui media Koran lokal ini adalah counter yang terletak di pinggir jalan, sehingga orang perlu tahu alamatnya dan dengan mencamtumkan harga murah sehingga konsumen diharapkan tertarik untuk datang ke counter tersebut. Pada tahun 2005 sampai awal 2008, promosi melalui media Koran lokal cukup efektif mendatangkan konsumen karena pada saat itu harga iklan untuk 1 kolom ukuran 100 mm masih 2,6 juta untuk 10 kali tampil, sedangkan sekarang harganya sudah naik menjadi 3,4 juta per 10 kali tampil, dan sekarang masyarakat cenderung mencari gerai handphone yang lokasinya lebih dekat dari tempat tinggalnya karena faktor biaya transportasi yang mahal. Kecenderungan yang lain adalah masyarakat makin terbiasa untuk membeli handphone di Phone Market yang memang menyediakan berbagai jenis produk dan bisa membanding-bandingkan harga dari beberapa gerai handphone yang ada disana. Saat ini di berbagai tempat berdiri Phone Market baru, seperti di Yogyakarta bagian selatan, sekarang muncul Jogjatronik dan Beringharjo Phone Market, Yogyakarta barat ada Borobudur Phone Market, dan Yogyakarta timur ada Gelael Phone Market.
Saluran promosi yang lain adalah direct selling. Disini masing-masing karyawan counter dituntuk untuk bisa menjelaskan fitur dan penggunaan produk ke konsumennya, sehingga konsumen mengetahui berbagai fitur yang ada dalam sebuah tipe produk. Seorang sales counter yang baik, mampu mengetahui produk yang diinginkan konsumennya dengan harga yang sesuai kemampuan konsumen, sehingga seorang konsumen merasa mendapatkan “value” lebih dan akhirnya menjadi loyal.


D. Kesimpulan
Differentiate or Die, merupakan realita yang dihadapi pelaku bisnis handphone saat ini. Perubahan perilaku konsumen menuntut setiap pelaku bisnis untuk selalu bisa menyesuaikan perubahan perilaku konsumennya. Satu contohnya adalah gerai Golden Sellular di jalan Urip Sumoharjo, sebelumnya counter ini sangat ramai pembelinya karena pada saat itu konsumen banyak yang ingin mempunyai handphone CDMA, sedangkan dipasaran, handphone yang dijual oleh vendor resmi masih relatif sedikit pilihannya dan harganya mahal. Contohnya pada tahun 2005, handphone CDMA hanya dikeluarkan oleh Samsung (SGH C388) dan Nokia (tipe 2280, 2112 dan 2116). Yang paling murah adalah Nokia seri 2280 yang pada saat itu harganya 600 ribuan, bandingkan dengan produk keluaran China yang harganya hanya sekitar 300 ribuan dengan fitur produk yang sama. Namun saat ini, dimana produk dari vendor bergaransi resmi dengan harga murah telah banyak tersedia di pasaran, gerai handphone tersebut lambat laun mengalami penurunan penjualan yang cukup drastis. Ketika kondisi pasar berubah, dia tidak bisa menyesuaikan dengan kebutuhan pasar sehingga ditinggalkan konsumennya.
Saat ini beberapa pelaku bisnis sudah menyadari pentingnya fokus pada satu target pasar tertentu dan berusaha selalu mengikuti perubahan yang terjadi. Apa yang dilakukan oleh Brother Group dengan strategi low price dan fokus di handphone bekas, ataupun apa yang dilakukan Visitel dengan strategi fokus pada segmen pasar middle up dengan menerapkan desain counter yang nyaman dan eksklusif, serta variasi tipe handphone yang sangat beragam mulai dari Nokia, Sony Ericsson, BenQ-Siemens, Motorola,Samsung sampai merk lokal seperti Beyond dan AnyCool. Mereka berusaha memuaskan target market mereka masing-masing dan tetap berusaha mengikuti perubahan yang terjadi pada perilaku segmen pasarnya.

Rabu, 10 Desember 2008

Strategi Bersaing Bisnis HP Ditengah Kelesuan Pasar

A. Latar Belakang
Sejak awal Oktober 2008, angka penjualan handphone baru dan bekas di daerah Yogyakarta dan sekitarnya mengalami penurunan. Sampai awal Desember ini, kelesuan penjualan ini masih tidak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir dalam 1-2 bulan kedepan. Dari data Papyrus Mobilephone Group yang mayoritas menjual hp bekas bergaransi, penurunan tingkat penjualan handphone mencapai 40%, sedangkan dari retailer lain yang khusus menjual HP baru tingkat penurunannya mencapai 20-40%.
Saat ini yang masih laku dipasaran adalah hp low end dengan range harga 200rb-1 jt, contohnya Nokia 1200, Nokia 1608, LG KP100, Samsung Z170, Nokia 1208, N2630, Sony Ericsson K320, dsb. Hp ini masih cukup diminati masyarakat meskipun secara umum angka penjualan hp turun drastis
B. Strategi Bertahan
Berbagai studi literatur dilakukan untuk mencoba mencari solusi strategi bertahan agar bisa melalui kelesuan ekonomi yang akan terus berlangsung bahkan samapi awal 2009.
Didalam buku "Crafting Strategy" (Thompson, Strickland, and Gamble, 2008), ada beberapa generic strategi yang bisa diterapkan, salah satunya adalah low cost and low selling price, dan diferensiasi.kedua strategi ini merupakan generic strategi yang bisa diterapkan dalam ekonomi yang stabil maupun ketika ekonomi sdang lesu spt sekarang ini. Yang feasible diterapkan saat ini adalh strategi low selling price, dimana kita menerapkan low margin untuk tetap mempertahankan cash flow. Dengan pasar yang sedang lesu, jumlah pembeli sedikit, sehingga jumlah transaksi penjualan yang berhasil dilakukan pun menjadi berkurang drastis. Padahal operational cost dan fixed cost tetap kita tanggung, oleh karena itu dengan strategi low selling price ini diharapkan akan meningkatkan jumlah transaksi yang berhasil meskipun margin profit kecil. Tetapi yang penting kita tetap bisa menggaji karyawan, biaya sewa, dan biaya operasional lainnya.
Didalam jurnal of management studies: "The Crisis Management" (John F. Preble, 1997) diterangkan tentang bagaimana memformulasikan strategi ketika keadaan tidak sesuai dengan harapan. Dibutuhkan eksekusi strategi yang berbeda dibandingkan dalam keadaan normal. Bedanya kalo di perusahaan2 besar, crisis management ini sudah diformulasikan sebelumnya dan disesuaikan dengan strategic management sebagai tambahan strategi terhadap "extraordinary treath" yang mungkin muncul. Dalam bisnis hp, kita bisa mengadopsi logic step dalam pembuatan crisis management, intinya dibutuhkan langkah-langkah pragmatis yang harus kita ambil agar bisnis ini tetap bisa bertahan untuk sementara waktu sampai keadaan membaik kembali. Strategi low selling price, strategi mencari alternatif diversifikasi bisnis mungkin bisa menjadi solusi.Strategi diversifikasi bisa dilakukan dengan cara memanfaatkan space gerai dengan menjual assesoris hp dan jualan pulsa. meskipun hasilnya tidak seberapa, tetapi lumayan bisa memberi pemasukan 15-50rb per hari, dengan modal tidak lebih dari 3 jt. kalo stabil 50rb/hari dalam 1 bulan bisa menghasilkan 1,5 jt, lumayan bisa membantu pemasukan.