Sabtu, 10 Januari 2009

Pengalaman Penerapan ERP Sistem di Nestle Indonesia

Gambaran Umum
Nestle adalah perusahaan makanan terbesar diseluruh dunia dengan ribuan macam produk dan unit bisnis di lebih dari 84 negara. Nestle menerapkan strategi manajemen kontrol sistem yang terdesentralisasi, denagn mendelegasikan otoritas pengambilan keputusan di masing-masing unit bisnis sehingga keputusan-keputusan yang diambil sesuai dengan kondisi di masing-masing negara. Untuk mengkoordinasikan seluruh unit bisnisnya di seluruh dunia maka dibutuhkan peranan sistem teknologi informasi yang bisa mengkoordinasikan seluruh aktivitas bisnis agar diperoleh competitive advantage.
Sebelumnya Nestle telah menerapkan corporate intranet pada tahun 1997, yang bertujuan mendukung lima kegiatan bisnisnya yaitu purchasing, marketing, business intelligence, teknologi, dan manajemen sumberdaya manusia. Corporate intranet ini dikenal dengan Nestle Intranet Kit Assistant (NIKITA).NIKITA ini merupakan software yang dikembangkan oleh Nestle sendiri dan menjadi blueprint bagi pengembangan proyek intranet selanjutnya. Sistem ini digunakan lebih dari 80.000 karyawan Nestle di seluruh dunia.
Email merupakan sarana interaksi yang fundamental di Nestle dan sudah menjadi budaya kerja di Nestle untuk berinteraksi antar departemen dengan hanya menggunakan email. Pemberitahuan, berita-berita penting, instruksi, dan komunikasi bisnis biasa menggunakan media email. Oleh karena itu intranet dan email merupakan kebutuhan pokok Nestle dan membuat komunikasi menjadi lebih cepat dan efisien.
Dengan makin ketatnya persaingan di industri bisnis makanan, maka Nestle membutuhkan dukungan teknologi informasi yang bisa menyatukan semua bisnis unit Nestle di seluruh dunia dan mengaplikasikan proses bisnis yang efisien dan efektif. Oleh karena itu pada tahun 2000, Nestle meluncurkan proyek GLOBE (Global Business Excellence)yang merupakan proyek terbesar Nestle selama 135 tahun berdirinya perusahaan ini. Tujuan dari proyek GLOBE adalah meningkatkan kinerja dan efisiensi bisnis Nestle di seluruh dunia. Proyek GLOBE ini merupakan sistem ERP (enterprise resource planning) yang menggunakan software SAP. Implementasi mySAP.com termasuk Workplace, SAP R/3, BW, APO, CRM, EBP dan Knowledge Warehouse. Proyek ini terbagi menjadi empat kegiatan pokok, yaitu Business Excellence, Data Standard&Data Management, Information Technology dan Global Template. Proyek ini menggunakan konsultan dari PwC.
Proyek GLOBE di Nestle Indonesia
Proyek penerapan proyek GLOBE di Nestle Indonesia dimulai pada tahun 2003. Strategi penerapan yang dipakai adalah Phasing Strategi, yaitu penerapan secara bertahap sampai tahun 2006. Proyek ini pertama kali diterapkan di Head Office Jakarta dan Kejayan Factory, Pasuruan, Jawa Timur, yang merupakan pabrik pengolahan susu sapi terbesar di Indonesia. Pada tahun 2005, proyek GLOBE mulai diaplikasikan di Panjang Factory, Lampung dan Cikupa Factory, Tangerang, Jawa Barat. Secara pertahap proyek GLOBE ini diaplikasikan di masing-masing departemen.
Kritik Proyek GLOBE
Proyek GLOBE memang sudah tepat dicanangkan Nestle karena ERP sistem sekarang sudah menjadi kebutuhan perusahaan-perusahaan global yang ingin tetap kompetitif di persaingan bisnis global. Dengan ERP sistem ini maka perusahaan bisa mensinergikan keseluruhan proses bisnis yang ada di perusahaan tersebut sehingga dicapai proses bisnis yang efisien dan efektif, serta memberikan kemudahan terjadinya “sharing knowledge” antar masing-masing bagian.
Terkait dengan penerapan sistem ini di Nestle Indonesia, penulis melihat adanya kebingungan yang amat sangat dari karyawan operasional di level supervisor ke bawah. Mereka yang harus dibiasakan untuk input data terkadang merasa cangggung dengan tampilan sistem baru. Dari pengalaman penulis menjadi supervisor di RSCM Departemen di Kejayan Factory, terlihat adanya “culture shock” yang dialami operator karena harus input data ke komputer padahal mereka terbiasa menggunakan kertas. Terdapat berbagai kesulitan yang mereka hadapi mulai dengan ketidak-familier-an mereka menggunakan komputer. Dari sini saja sudah timbul masalah karena dalam ERP sistem jika satu bagian tidak menginput data maka akan membuat bagian yang lain terhenti. Dengan beban input data ini sempat mengganggu proses kegiatan produksi yang sedang berjalan, karena mereka harus berbagi konsentrasi antara input data dan pekerjaan operasional. Kesulitan lainnya adalah adanya perbedaan tampilan di software baru ini dibandingkan dengan software lama. Terkesan bahwa aplikasi SAP yang diterapkan secara “vanilla” (istilah penerapan SAP di NIBCO yang secara apa adanya tanpa customization). Berbagai kesalahan input sering dilakukan dan sering sekali hal tersebut menimbulkan masalah dan butuh dikonsultasikan dengan tim IT. Bahkan beberapa teman sejawat selevel supervisor yang sampai stress karena bingung mengoperasikan sistem baru yang tampilannya sangat berbeda dengan sistem lama.
Tidak ditemukan seorang “project champion” yang di taruh di masing-masing shift kerja yang bisa membantu pengoperasian SAP ini. “ project champion” ini hanya ada satu untuk satu departemen sehingga kerjanya tidak optimal. Oleh karena itu proses pembelajaran semua karyawan menjadi sangat lamban. Seharusnya terdapat sebuah “champion team” di tingkat departemen dan 1 orang project champion di masing-masing tim. Dengan begitu proses pembelajaran ke sistem baru akan efektif dan cepat.
Pada awal penerapan sistem baru,terdapat banyak sekali kesalahan input data sehingga sempat membuat proses record file terganggu. Waktu itu untuk menyelesaikan problem ini, ditunjuklah 1 orang karyawan yang khusus input data di masing-masing tim. Seharusnya hal tersebut tidak dilakukan, karena salah satu prinsip dalam proses pembelajaran adalah “show the brutal facts” (Jim Collins, dalam bukunya Good to Great). Dengan prinsip “show the brutal facts” maka kesalahan yang ada diangkat dan ditunjukkan untuk dilakukan langkah-langkah koreksi. Dengan menaruh orang yang khusus input data di masing-masing tim dan membiarkan anggota tim lain tidak melakukan input data maka tidak ada pembelajaran yang benar dari hakekat penerapan sistem baru tersebut. Terlebih hal ini juga menambah biaya produksi karena menambah 1 karyawan yang berfungsi untuk input data.
Denagn proses transformasi step by step terlihat bahwa proses peralihan ke sistem baru berjalan lambat dan tingkat kesuksesannya tidak maksimal. Lain halnya jika dicoba di satu factory atau satu unit bisnis, diterapkan pendekatan “big bang”, mungkin hasilnya akan lebih baik dan lebih efisien.
Daftar Pustaka
Collins, Jim, 2001. Good To Great,1st edition, Harper Business New York.
Martin, E. Wainright. et al, 1999, Managing Information Technology: What Managers Need to Know, 5th edition, New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs.

Kamis, 08 Januari 2009

Cara Modern Me"manage" Gerai Handphone

CARA MODERN ME”MANAGE” GERAI HANDPHONE
Background

Dalam lima tahun terakhir ini diberbagai pelosok kota dan pedesaan banyak bermunculan gerai handphone yang di Indonesia terkenal dengan istilah “konter HP”. Hal ini merupakan indikasi positif bagi perekonomian secara umum karena secara langsung konter-konter ini akan menyerap tenaga kerja dan memberi penghidupan bagi banyak orang. Sebutan “konter HP” ini sebenarnya bisa di bagi kedalam tiga kelompok kategori bisnis, yaitu bisnis perdagangan handphone, bisnis perdagangan pulsa, bisnis accessories handphone. Biasanya konter-konter pada umumnya menjalankan gabungan kelompok bisnis ini secara simultan. Contohnya ada konter yang menjual handphone sekaligus menjual accessories handphone dan pulsa. Tetapi ada juga konter yang fokus pada kategori bisnis tertentu saja, misalnya bisnis handphone saja. Biasanya konter yang fokus pada salah satu kategori bisnis ini merupakan pemain besar yang memusatkan capability dan resource yang dimiliki untuk fokus di satu bidang bisnis saja.
Terlihat fenomena bahwa banyak sekali “turnover” di bisnis ini. Banyak sekali kita lihat konter yang baru buka tetapi kemudian beberapa bulan atau tahun kemudian tutup atau gulung tikar. Dari pengalaman saya membesarkan Papyrus Mobilephone Group selama lima tahun, terdapat beberapa penyebab kegagalan tersebut, diantaranya adalah:
1. Kesalahan manajemen
2. Keterbatasan modal
3. Komitmen jangka pendek
Kesalahan manajemen merupakan penyebab kegagalan yang paling sering ditemui. Maksud dari kegagalan manajemen adalah sebuah kesalahan dalam mengelola usaha, yang dalam hal ini adalah konter. Contohnya, banyak sekali ditemui konter yang tutup karena pengelolaan keuangannya yang tidak baik. Yang sering terjadi adalah tidak dilakukannya pemisahaan antara modal kerja dan uang untuk kebutuhan konsumsi. Sehingga lama-lama modal kerjanya ikut terpakai dan habis untuk belanja konsumsi. Sedangkan keterbatasan modal menjadi penyebab kegagalan nomor dua, karena kebanyakan konter adalah usaha perseorangan sehingga akses modalnya dari pihak ketiga sangat kurang. Penyebab yang ketiga yaitu komitmen jangka pendek, maksudnya adalah konter hanya dijadikan pengisi waktu menganggur saja, dan tidak mempunyai bayangan dan impian kedepan mau kemana konter ini.
Manajemen Konter yang Baik
Sebenarnya tidak susah mengambil beberapa ilmu manajemen untuk di aplikasikan di bisnis ini. Untuk pemula, mulailah secara terencana menerapkan pembukuan yang baik dan tertiblah dalam menggunakan uang modal. Mulailah dengan mencatat berapa modal keseluruhan yang digunakan, catat semua transaksi harian, analisa transaksi harian ini sehingga terhitung berapa profit yang didapatkan dalam 1 hari penjualan. Jika perlu berikan tugas ini kepada karyawan supaya tiap hari semua transaksi barang keluar-masuk bisa tercatat dengan baik. Disini hal yang pokok adalah kita harus tahu berapa modal yang digunakan. Yang kedua adalah berapa profit per bulan yang dihasilkan dari bisnis ini. Jika kita sudah mengetahuinya, mulailah menghitung berapa kebutuhan kita dalam satu bulan. Berapa gaji karyawan, biaya operasional konter, dan biaya sewa (jika menyewa tempat konter). Dari sini kita akan tahu berapa net profit yang kita dapatkan dalam 1 bulan. Jika net profit ini lebih besar dari kebutuhan pribadi kita maka kemungkinan besar keuangan konter akan aman, tetapi jika defisit? Maka bersiaplah untuk menghadapi penyusutan modal kerja. Perlu diperhatikan juga bahwa bisnis ini juga ada fluktuasinya, jadi jangan pernah hanya melihat laporan keuangan dalam 1 bulan saja, jika perlu analisa dalam 1 tahun.
Jika konter sudah besar dan berkembang menjadi 2-3 cabang, biasanya masalah yang dihadapi adalah kontrol manajemen tiap-tiap konter. Untuk kasus ini kita bisa mengadopsi ilmu manajemen modern, seperti yang ada di bukunya V. Govindrajan dan R.N. Anthony yang berjudul “Management Control System”. Disini dijelaskan terdapat beberapa strategi penerapan struktur organisasi, diantaranya adalah “unit bisnis organization”. Dengan penerapan unit bisnis organization maka kita akan menerapkan tiap-tiap cabang tersebut sebagai sebuah responsibility center yang memiliki independensi dan target penjualan tertentu. Biasanya responsibility center tersebut bertipe profit center atau investment center, dimana tiap-tiap unit bisnis dipimpin oleh seorang manajer yang diberi tanggungjawab penuh untuk mengelola. Dengan struktur organisasi ini maka kita akan memberikan empowerment lebih kepada karyawan untuk memaksimalkan potensi yang dipunyai.
Contoh nyata adalah struktur organisasi unit bisnis yang diterapkan Papyrus Mobilephone Group. Mereka mempunyai kantor pusat yang isinya hanya 4 orang karyawan admin dan finance dan 1 orang analis bisnis. Masing-masing cabang merupakan satu unit bisnis yang independen (profit center), yang dipimpin oleh seorang manajer. Manajer bertanggungjawab penuh terhadap pengelolaan konter mulai dari SDM, administrasi keuangan, dan aset konter. Sebagai penyeimbang, maka masing-masing konter juga terdapat 1 orang staf admin yang ditempatkan di masing-masing unit bisnis dan berkoordinasi langsung dengan staf admin di kantor pusat. Tiap-tiap konter akan dievaluasi kinerjanya dari 3 aspek yaitu net income, customer komplain indeks, dan turnover karyawan. Khusus untuk net income, masing-masing konter mempunyai target net income minimal per bulan, jika mereka menghasilkan net income yang melebihi target maka sisanya dibagi 50%-50%, yaitu untuk manajemen pusat dan untuk bonus pejualan bagi tim di unit bisnis. Strategi ini cukup berhasil mengangkat kinerja karyawan tanpa harus dikontrol ketat, karena secara tidak langsung mereka juga merasa “memiliki” bisnis tersebut.